Mengapa saya susah menerima ilmu ?




            Banyak orang belajar bertahun-tahun kepada banyak guru, namun yang aneh ilmunya hanya sekedar dibuku saja, atau tidak meresap kedalam hati. Sehingga ia mengaji dan belajar bertahun-tahun tidak merubahnya menjadi lebih baik, belajar bahasa arab bertahun tahun tidak bermanfaat sedikitpun bagi dirinya. Mengapa ?

1.         Tidak beradab kepada guru
2.         Tidak menjaga diri dari perbuatan maksiat
3.         Tidak mengulang-ulang pelajaran yang diberikan
4.         Meremehkan Ilmu dan Guru
5.         Tidak mengerjakan yang diperintah guru
6.         Merasa cukup dengan ilmu yang sedikit
7.         Tidak siap belajar

Point pertama : “tidak beradab kepada guru”

«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَفِ لِعَالِمِنَا»
“Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati orang yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengerti hak ulama kami.” (HR. Al-Bazzar)

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hendaklah ia meyakini keahlian gurunya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya tersebut” (Al-Majmu’ 1/84)

            Adab merupakan kunci ilmu, siapa yang tidak beradab maka tidak ada ilmu baginya. ketika kita memandang seorang guru dengan pandangan menghinakan maka ilmu akan sulit kita terima atau memaksa guru untuk menjawab pertanyaan hal itu tidak beradab. Maka beradablah karena itulah yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW.

Sahabat Ibnu Abbas Ra dengan kemuliaan dan kedudukannya yang agung, beliau mengambil tali kekang unta Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata: “Demikianlah kita diperintah untuk berbuat baik kepada ulama.”

            Jangan memanggil guru dengan namanya lebih baik katakanlah “wahai guruku dan Wahai ustad, Wahai kiai dll. Karena guru perlu dihormati, jangan disamakan dengan teman. Allah berfirman;

لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً
Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain) … (Annur 63)

Point kedua : “ tidak menjaga diri dari perbuatan maksiat”.

Suatu ketika Imam Syafi’i berkeluh kesah tentang sebuah masalah kepada gurunya, yang sering dipanggil Syaikh Waqi. Imam Syafi’I mengadu bahwa dirinya susah dalam menghafal. Terutama ketika beliau menghafal Al-Qur’an. Syaikh Waqi pun menjawab, “Tinggalkanlah maksiat. Ketahuilah bahwa ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang gemar bermaksiat”.

Point ketiga : “Tidak mengulang-ulang pelajaran yang diberikan”

Mengulang pelajaran adalah sebab bertambahnya kekuatan hafalan di pikiran kita. Maka jika engkau mendapat suatu faidah ilmu, maka mengulang apa yang engkau dapatkan adalah sebab kuatnya dan tetapnya ilmu tersebut di pikiran kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا قام صاحب القرآن فقرأه بالليل والنهار ذكره، وإن لم يقم به نسيه
Jika seorang penghafal Al Qur’an shalat di malam dan siang hari dan membaca apa yang ia hafal, maka ia akan mengingatnya. Jika tidak, maka ia akan melupakannya”

Point keempat : “Meremehkan Ilmu dan Guru”

Dalam pembukaan kitab Ta’limul Muta’allim, Syekh Zarnuji merasakan kegelisahan yang sama, kemudian menganlisis sumber-sumber masalahnya. Beliau menulis: “...saya melihat sebagian besar pelajar di zaman kita bersungguh-sungguh (mencari) ilmu namun tidak bisa sampai atau terhalang dari manfaat serta buahnya, yaitu beramal dengannya dan menyebarkannya. Sebab, mereka salah menempuh jalannya dan meninggalkan syarat-syaratnya. (Padahal), setiap orang yang salah mengambil jalan pastilah akan tersesat dan tidak bisa sampai ke tujuannya, baik sedikit maupun banyak....”

Dengan keprihatinan senada, Abul Hasan al-Mawardi juga menulis dalam Tashilu an-Nazhr wa Ta’jilu azh-Zhufr fi Akhlaqi al-Malik, “Setiap orang yang belajar dari orang lain, selama dia tidak memelihara adab dalam dirinya, maka segala yang telah ia dapatkan darinya akan berhamburan dan ia akan kembali kepada tabiatnya yang semula.” Artinya, tanpa adab, pendidikan akan sia-sia. Apa yang ditanamkan dengan susah payah selama pendidikan, akan terurai dan berhamburan kembali, begitu ia diwisuda dari Almamaternya dan memegang ijazah.

Diantara ciri orang meremehkan ilmu dan guru adalah tidak mencatat apa yang dikatakan oleh gurunya atau tidak mau menghapalnya. Mari kita simak apa yang dilakukan oleh Imam syafi’I pada satu hari beliau meminta izin kepada ibunya untuk menuntut ilmu ke Madinah. Tibanya di Madinah, beliau menuju Masjid Nabawi dan menunaikan sholat sunah dua rakaat. Setelah selesai sholat, beliau tertarik pada satu majelis ilmu dalam masjid tersebut. Seseorang sedang mengajarkan tentang hadis-hadis Rasulullah SAW. Beliau adalah Imam Malik. Dengan langkah tertib, Imam Syafi’i menuju ke tempat Imam Malik dan duduk bersama murid-murid beliau. Imam Syafi’i lantas menulis apa yang disampaikan imam malik ditelapak tangannya. Beliau menulis segala apa yang diajarkan oleh Imam Malik. Tanpa disadari, Imam Malik memperhatikan tingkah lakunya.

Selesai majelis tersebut, Imam Malik memanggil Imam Syafi’i. Imam Malik bertanya kepada Imam Syafi’i, “Apakah kamu berasal dari Mekah?”. Imam Syafi’I menjawab, “Benar”. Imam Malik kemudian bertanya, “Mengapa engkau bermain-main dengan lidi dan air liurmu selama aku mengajar?”. Imam Syafi’I menjawab, “Maaf tuan. Sebenarnya saya tidak bermain-main. Hanya saja saya tidak ada kertas dan pena, semua yang tuan ajarkan saya tulis di telapak tangan saya dengan menggunakan lidi dan air liur untuk saya menghafalnya”.

Imam Malik membolak-balik tangan Imam Syafi’i, beliau tidak menjumpai tulisan apapun. Beliau terus berkata, “Tetapi kenapa telapak tangan kamu ini kosong?”. Imam Syafi’I berkata, “Benar tuan. Namun demikian tuan, saya telah menghafal semua hadis-hadis yang tuan riwayatkan tersebut”.

Setelahnya beliau disuruh melafalkan apa yang dihafalnya. Imam Malik mendapati tidak ada satu hadis yang tertinggal dari 20 hadis yang diajarkan pada hari itu. Semenjak peristiwa itu, Imam Syafi’i menetap di rumah Imam Malik. Selama 18 bulan Imam Syafi’i berguru pada Imam Malik. Hatinya yang suci memudahkan beliau memahami dan menghafalkan kitab Al-Muwatta’, sehingga akhirnya Imam Syafi’i sering diberi penghormatan untuk mengajar murid-murid yang lain.

Point kelima : “Tidak mengerjakan yang diperintah guru”.

            Penyebab kurang berkahnya ilmu dan penyebab lambatnya seseorang didalam belajar adalah tidak mengerjakan apa yang diperintahkan guru.

            Mari kita lihat ketaatan imam Ghazali kepada gurunya,  Suatu hari, Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali shalat berjemaah bersama adiknya, Imam Ahmad. Al-Ghazali menjadi imam dan adiknya menjadi makmum. Tapi, di tengah-tengah shalat, Imam Ahmad mufaraqah (memisahkan diri) dan shalat sendirian. "Mengapa engkau mufaraqah?" tanya Al-Ghazali seusai shalat. "Kulihat tubuhmu penuh darah. Maka, aku mufaraqah karena shalat berjamaah tidak sah jika tubuh imam berlumur najis (darah)," jawab sang adik.

Mendengar hal itu, Al-Ghazali sadar bahwa ketika shalat, beliau teringat permasalahan haidh yang sedang beliau tulis. Saat itulah Allah Swt menampakkan apa yang sedang beliau pikirkan kepada Imam Ahmad, sehingga sang adik melihat tubuhnya berlumur darah. "Bagaimanakah kamu bisa melihat hal-hal ghaib? Dari siapa kamu belajar?" tanya Al-Ghazali, penasaran.

"Engkau tidak layak belajar kepadanya,” jawab Imam Ahmad. “Engkau orang yang masyhur, sedangkan guruku orang biasa." Karena Imam Ghazali terus mendesak, akhirnya Imam Ahmad setuju untuk membawanya berjumpa dengan sang guru. Di pasar, mereka mendatangi seorang penjual daging dan Imam Ahmad memberitahu bahwa itulah gurunya.

"Tuan, saya ingin belajar ilmu dari Tuan," pinta Al-Ghazali. Penjual daging menggelengkan kepala; "Aku tidak punya ilmu untuk mengajarimu." Imam Ghazali merayu lagi, tapi penjual daging itu tetap enggan. Akhirnya, Imam Ghazali berkata; "Saya serahkan diri saya kepada Tuan, laksana mayat menyerahkan diri kepada orang yang memandikan."

"Baiklah,” jawab laki-laki setengah baya itu. “Lepaskan jubah kebesaranmu itu (jubah yang dipakai Imam Ghazali sebagai guru besar Universitas Nidzamiyyah). Sapulah meja tempatku menjual daging ini dengan jubahmu." Tanpa menunggu waktu, Imam Ghazali menunaikan perintah sang guru. Setelah selesai, beliau berkata; "Ajarilah saya suatu ilmu." "Besok, datanglah ke rumahku selepas Subuh," jawab penjual daging.

Selepas Subuh, Imam Ghazali sudah menanti penjual daging di depan rumahnya. Namun, ia hanya menyuruh Imam Ghazali memotong rumput di sekitar rumah. Imam Ghazali pun mematuhi. Setalah itu, beliau mengulangi kata-katanya; "Ajarilah saya suatu ilmu." "Besok, datanglah lagi ke rumahku selepas Subuh," jawabnya, singkat.

Sama seperti sebelumnya, selepas Subuh Imam Ghazali menunggu di depan rumah dan lagi-lagi penjual daging itu hanya menyuruh beliau membersihkan janban (tempat pembuangan kotoran manusia). Imam Ghazali menuruti perintah itu dengan ikhlas. "Tuan, pekerjaan yang Tuan perintahkan telah kulaksanakan. Ajarilah saya ilmu," pinta Al-Ghazali lagi.

"Baiklah, datanglah kembali besok selepas Subuh,” jawabnya. Keesokan harinya, hal yang sama terjadi lagi. Namun, kali ini Imam Ghazali diperintahkan mensucikan najis di lantai. Tugas ini pun dilaksanakan dengan baik. Setelah selesai, beliau kembali meminta diajari ilmu. Namun, jawaban penjual daging itu sungguh mengejutkan; "Segala ilmu yang kau inginkan sudah kau dapatkan. Sekarang, pulanglah!"

Imam Ghazali pun pulang dengan hati ikhlas. Namun, sejak saat itu, beliau dapat melihat hal-hal ghaib, yang tidak dapat dilihat oleh orang kebanyakan.

image : http://lbcblogs.com

Subscribe to receive free email updates:

3 Responses to "Mengapa saya susah menerima ilmu ?"