image : |
Pernah
al-Faqir bertemu dengan seseorang pemuda di depan mushola selepas rapi mengaji
dengan guru al-Faqir. Lalu kemudian pemuda tersebut berpapasan dengan guru
al-Faqir dan ia pun menyalami atau bersalaman dengan guru al-Faqir, akan tetapi
yang agak tidak meng-enakkan hati adalah cara bersalamannya itu. Terlihat
seolah guru al-Faqir itu seperti kawannya saja. Mungkin ini hanya perasaan
al-Faqir saja.
Kemudian
keesokkan malamnya al-Faqir bertanya kepada pemuda itu, “ Ya Fulan mengapa
engkau tidak mencium tangan guru itu bukankah jika guru itu bukan gurumu, ia
kan juga orang tua yang mesti dihormati, orang yang jauh lebih tua darimu,
bukankah menghormati orang yang lebih tua juga diajarkan oleh Rasulullah ?”, kemudian
pemuda itu berkata, “ Mencium tangan itu sama saja menyembah !”.
Setelah
kejadian itu, al-Faqir pulang kerumah mencari kitab-kitab yang membahas tentang
masalah mencium tangan. Apakah ia termasuk perkara bid’ah yang diharamkan
ataukah memang ia termasuk perkara yang sunnah ?
Setelah
beberapa buku al-faqir buka, al-faqir menemukan didalam kitab Adab al-Mufrad
yang dikarang oleh Amiir al-Mukminin fi al-Hadits Imam al-Bukhari.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كُنَّا فِي غَزْوَةٍ ، فَحَاصَ
النَّاسُ حَيْصَةً ، قُلْنَا : كَيْفَ نَلْقَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
وَقَدْ فَرَرْنَا ؟ فَنَزَلَتْ : {إِلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ} ، فَقُلْنَا :
لاَ نَقْدِمُ الْمَدِينَةَ ، فَلاَ يَرَانَا أَحَدٌ ، فَقُلْنَا : لَوْ قَدِمْنَا
، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ ، قُلْنَا :
نَحْنُ الْفَرَّارُونَ ، قَالَ : أَنْتُمُ الْعَكَّارُونَ ، فَقَبَّلْنَا يَدَهُ ،
قَالَ : أَنَا فِئَتُكُمْ.
Telah
menceritakan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar ia berkata, “ dahulu kami pernah
berada pada suatu perang, kemudian pasukan terpecah, kami katakan, “ bagaimana
kami dapat menemui Rasulullah SAW sedangkan kita lari dari perang?” maka
turunlah firman Allah SWT “kecuali orang-orang yang lari (karena siasat) dalam peperangan”. Maka kami berkata, “ kita
tidak akan pulang kemadinah sekarang, (jika kita kesana sekarang) tidak ada
orang yang memperdulikan kita…… kemudian Nabi SAW keluar selepas shalat subuh,
kami berkata, “ Kamilah orang-orang yang lari” Rasulullah SAW bersabda, “
(tidak) kalianlah orang yang berperang” kemudian kami mencium tangannya
“. Rasulullah SAW bersabda, “ Aku pun kelompok kalian”.
Alhamdulillah,
ternyata apa yang diajarkan oleh para guru-guru ternyata mempunyai landasan dan
bukan perkara bid’ah, walaupun ada ulama yang walaupun ada ulama yang mengatakan
bahwa hadits ini tergolong hadits dhaif, namun kita semua telah mengetahui
hukum mengamalkan hadits dhaif itu diperbolehkan sebagaimana yang diungkapkan
oleh Imam an-Nawawi dalam al-Adzkarnya. Dan banyak juga yang mengatakan bahwa
hadits ini hadits hasan, buka saja tuhfah al-Ahwadzi syarah Turmuzi.
Bahkan
hadits-hadits ini banyak disebutkan dibeberapa kitab-kitab hadits dan
syarahnya, seperti fathul baari syarah shahih bukhari, baihaqi dll. Sebenarnya
masih banyak sekali hadits-hadits yang hendak al-Faqir tulis namun khawatir
terlalu panjang maka cukuplah hadits diatas menjadi dalil bolehnya mencium
tangan.
Ketika
al-Faqir paparkan kepada pemuda tadi, ia malah menjawab kembali, “ aah, itukan
cium tangan khusus untuk Nabi, kalau kepada Nabi Mah saya juga menyatakan
boleh, sekarangkan masalahnya yang kita cium bukan tangan Nabi”.
Astaghfirullah, memang agak merepotkan jika berhadapan dengan orang yang tidak
mengerti ushul fiqih, kemudian al-Faqir kembali membuka-buka buku semoga
mendapatkan jawaban. Alhamdulillah ternyata para sahabat pernah dicium
tangannya,
عَنِ ابْنِ جَدْعَانْ, قالَ لاَنَسْ
: اَمَسَسْتَ النَّبِيَّ بِيَدِكَ قالَ :نَعَمْ, فقبَلهَا
dari
Ibnu Jad’an ia berkata kepada Anas bin Malik, apakah engkau pernah memegang
Nabi dengan tanganmu ini ?. Sahabat Anas berkata : ya, lalu Ibnu Jad’an mencium
tangan Anas tersebut. (HR. Bukhari dan Ahmad)
عَنْ اَبيْ مَالِكْ الاشجَعِيْ قالَ:
قلْتَ لاِبْنِ اَبِيْ اَوْفى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : نَاوِلْنِي يَدَكَ التِي
بَايَعْتَ بِهَا رَسُوْلَ الله صَلى الله عَليْه وَسَلمْ، فنَاوَلَنِيْهَا،
فقبَلتُهَا.
Dari Abi Malik
al-Asyja’i berkata : saya berkata kepada Ibnu Abi Aufa r.a. “ulurkan tanganmu
yang pernah engkau membai’at Rasul dengannya, maka ia mengulurkannya dan aku
kemudian menciumnya.(HR. Ibnu al-Muqarri).
Setelah
al-Faqir paparkan kembali dalil-dalil diatas kepada pemuda itu, barulah ia
terdiam. Wallahua’lam, apakah ia menerima ataukah ia menolak yang penting
al-Faqir telah menemukan dalil mengapa prilaku mencium tangan ini masih terjaga
dikalangan ulama, karena hal ini merupakan sunnah.
Imam
Nawawi berkata: “Mencium tangan seorang laki-laki dikarenakan kezuhudan,
keshalihan, ilmu yang dimiliki, kemuliaannya, penjagaannya, atau yang lainnya
dari perkara-perkara agama tidaklah dibenci, bahkan disukai. Namun apabila hal
itu dilakukan karena faktor kekayaan, kekuasaan, atau kedudukannya di mata
orang-orang, maka hal itu sangat dibenci. Dan berkata Abu Sa’iid Al-Mutawalliy
: “Tidak diperbolehkan”
Bahkan Imam
Nawawi membuat satu bab khusus dalam kitabnya Riyadhu as Sholihin: Bab
disunnahkannya mushofahah/berjabat tangan ketika bertemu, wajah yang riang dan
mencium tangan orang yang shalih”.
Al Hafidz Ibnu Hajar telah
menjelaskan secara terperinci beserta dalil-dalilnya tentang kebolehan mencium tangan
orang lain karena agamanya. Sebagaimana diterangkan dalam kitab beliau Fathul
Bariy dan Talkhis al Habir[.
0 Response to "apakah Mencium tangan ulama itu menyembah?"
Post a Comment