Jika
kita akan memasang paku-sekrup ke dinding tembok, setelah dinding terlubangi,
sebelum paku-sekrup dimasukkan, terlebih dahulu dimasukkan plastik berbentuk
kondom. Plastik inilah yang akan berfungsi merekatkan pertemuan antara
besi/baja paku-sekrup yang keras itu dengan dinding tembok yang mudah rapuh.
Sebab jika dilangsung tanpa plastik tersebut, justru dinding akan merapuh dan
posisi sekrup akan goyah. Ini cara kreatif dan temuan yang cerdas. Penemunya,
entah siapa, tentu orang yang matang dalam pengalaman di lapangan. Cara ini
tentu hasil dari buah pikiran yang terus berjalan, mencari dan mencari hingga
menemukan yang terbaik.
Begitu juga didalam berdakwah
mengajak orang dari kegelapan kepada cahaya, tidak perlu ilmu atau teori semata,
akan tetapi diperlukan kecerdasan dan pengalaman. Bahkan sebenarnya jika kita
lihat Rasulullah SAW sebelum diutus untuk berdakwah menyebarkan ajaran islam,
Rasulullah SAW telah lebih dahulu dididik dan dibina oleh Allah SWT untuk
menggembala kambing. Dimana menggembala kambing itu adalah training bagi Nabi SAW
agar Ia mengetahui bagaimana seorang penggembala menjaga, merawat, memelihara
dari segala gangguan, serta mengarahkan kambing-kambing itu dengan baik, sebagaimana
kambing-kambing yang digembalakan Rasulullah SAW begitu juga Ummat. Kita sebagai
da’I harus tau bagaimana cara memelihara umat, mendidik mereka, mengajarkan
mereka, menjaga mereka dari hal-hal yang berbahaya.
Bukan hanya kecerdasan,
pengamalan dan siasat yang diperlukan bagi seorang da’I akan tetapi esensi yang
terpenting adalah kebersihan hati.
Syaitan & Manusia mempunyai
peran dan fungsi yang berbeda, syaitan pekerjaannya dan tujuannya ingin memasukkan
manusia semuanya kedalam neraka, sebagaimana sumpahnya didalam al-Qur’an.
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ [٣٨:٨٢]
Iblis menjawab: "Demi
kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, (shad 82).
Oleh karena syaitan
telah bersumpah kepada Allah SWT bahwa ia akan menyesatkan semua manusia agar
mereka semua masuk kedalam neraka, maka syaitan berfikir dan bersiasat siang
dan malam, tak henti-hentinya mereka berjuang demi masuknya manusia kedalam
neraka.
ثُمَّ لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ
خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ
شَاكِرِينَ [٧:١٧]
kemudian saya akan mendatangi
mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan
Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (al-A’raf 17)
Dalam kitab tafsir
al-Qur’tubi, sufyan bin Mansur dari Hakam bin ‘Utaibah menafsirkan, “ dari
depan mereka (dari dunia mereka), dari belakang mereka (dari sisi akhiratnya),
dari sebelah kanan mereka (dari sisi kebaikan mereka), dari sebelah kiri mereka
(dari sisi kejahatan mereka). artinya syaitan tidak henti-hentinya menggoda
manusia dari segala penjuru, bahkan mereka berusaha mati-matian agar manusia
dapat mengikuti perbuatan sesat mereka.
Jika syaitan saja
mati-matian didalam menyesatkan orang, lalu bagaimana dengan kita selaku ummat
Rasulullah SAW ? apakah kita hanya berdiam diri saja dan tidak menggunakan akal
kita ? maka kita pun harus bersiasat bagaimana caranya agar manusia bisa masuk
kedalam surga. Semangat seperti inilah yang dibutuhkan oleh para da’I
ilallah (orang yang menyeru kejalan Allah). Akan tetapi semangat saja tidak
cukup, sebab dikhawatirkan ia masuk kedalam kelompok islam garis keras yang
membahayakan ummat.
Syaikh Muhammad Mutawalli
al-Sya’rawi rahimahullah bercerita. Pada suatu kesempatan, saya berbincang
dengan salah satu pemuda penganut Islam garis keras (ekstrimis). Saya bertanya
kepadanya,
"Apakah mengebom sebuah klub malam di suatu negara muslim itu
halal atau haram?"
Dia menjawab, "Tentu saja halal. Membunuh mereka itu
boleh."
Saya bertanya, "Kalau seandainya kamu membunuh mereka,
sedangkan mereka bermaksiat kepada Allah, kemana mereka akan ditempatkan?"
Dia menjawab, "Tentu saja neraka !"
Saya bertanya, "Kemana syaitan ingin menjerumuskan
mereka?"
Dia menjawab, "Tentu saja ke neraka..!"
Saya berkata, "Kalau begitu, kamu dengan syaitan memiliki
tujuan yang sama, yaitu memasukkan manusia ke neraka!"
Lalu saya menyebutkan sebuah
hadis Rasulullah ketika ada mayat seorang Yahudi lewat di hadapan Nabi lalu
Nabi Saw. menangis. Ditanyalah Nabi: Apa yang membuat engkau menangis wahai
Rasulullah? Nabi bersabda: ((Telah lolos dariku satu jiwa dan ia masuk ke dalam
neraka)) Saya berkata, "Perhatikan perbedaan antara kalian dengan
Rasulullah yang berusaha untuk memberi petunjuk kepada manusia dan menjauhkan
mereka dari neraka. Kalian berada di suatu lembah, dan Rasulullah berada di
lembah yang lain."
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. (an-Nahl 125)
KH. Cholil, kyai
masyhur dan alim dari Bangkalan Madura, kedatangan tamu seorang bapak dari
desa. Maksud kedatangan tamu tersebut adalah mengeluhkan perihal anaknya yang
suka makan gula. "Anak saya tidak mau berhenti makan gula, Kyai. Sudah
tidak terhitung lagi saya menasehatinya agar mau berhenti makan gula!"
kata tamu itu mengeluhkan anaknya. "Jajanan anak saya, jika tidak permen
ya pasti gula, Kyai," orang itu melanjutkan."Tolong saya diberi
sesuatu sebagai obat agar anakku mau berhenti makan gula, Kyai! Saya takut ia
akan penyakitan karena kebanyakan makan gula!"
Demi mendengar keluhan tamunya itu, Kyai berpikir juga. Keluhan
tamunya itu tampaknya memang sepele, yaitu mencari cara untuk mengatasi anaknya
yang bandel, yang suka makan gula. Tampaknya Kyai menanggapinya dengan serius.
"Bapak ini setiap hari
hanya minum air?" tanya Kyai tiba-tiba. Sang tamu merasa terkejut ditanya
demikian. "Tidak Kyai! Kadang minum kopi, kadang minum teh!"
"Pakai gula?" "Tentu saja Kyai!" di hati Bapak itu terasa
geli juga mendengar pertanyaan Kyai Cholil. Kira-kira apa ya hubungannya?
Hening sejenak.
Sesaat kemudian : "Begini,
Bapak pulang saja dulu, tiga hari lagi kesini bersama anak Bapak!" Tanda
tanya memenuhi benak sang bapak,ia berpikir kenapa tidak diberi doa atau
mungkin segelas air yang sudah dibacakandoa untuk pengobatan anaknya? Begitu
sulitkah bagi Kyai?
Tiga hari berlalu, orang dari
desa itu datang lagi menghadap Kyai Cholil bersama anaknya yang suka makan gula
itu. Setelah anaknya dihadapkan pada Kyai Cholil, bukannya diberi do'a malah
dinasehati.
"Nak, kamu jangan suka makan gula lagi ya?" Nasehat
Kyai pada anak itu seperti ketika menasehati cucunya sendiri. "Iya
Kyai!" jawab anak itu patuh. Terasa di hati bocah itu seperti tengah
disiram air pegunungan yang sejuk, menyegarkan. Indah pula rasanya dihati.
Setelah itu Kyai tidak berbuat apa-apa lagi.Bahkan bercengkerama dengan sang
anakdengan menghujani pertanyaan-pert anyaan tentang dunia anak. Lama-lama
hati sang Bapak gundah juga. Ia berprasangka, sepertinya Kyai Cholil tidak
berusaha 'mengobati' anaknya.
"Sudah begitu saja
Kyai?" tanya sang Bapak kemudian. "Iya Pak. Saya kira saya sudah
menuruti kemauan Bapak. Saya sudah menasehati anak Bapak agar tidak hobi makan
gula lagi!" Jawab Kyai.
Lagi-lagi jawaban Kyai membuat
sang bapak itu makin terheran-heran. "Kyai, kenapa anak saya hanya
diberi nasehat begitu saja?" tanyanya. "Jika hanya nasehat, saya
sendiri sebagai ayahnya sudah tak terhitung lagi menasehatinya!"
"Itulah masalahnya!"
"Maksud Kyai?" "Saya jelaskan ya Pak, kenapa sampeyan saya suruh
pulang dulu dan baru tiga hari kemudian saya minta kembali. Karena saya berdoa
dan berpuasa selama tiga hari itu dengan tidak makan gula, agar ketika
menasehati anakmu omongan saya bisa dipercaya!" jawab Kyai.
Rupanya jawaban Kyai yang
terakhir bikin mulut orang itu tercekat. Tak sepatah katapun yang bisa
diucapkan lagi. Dia tidak habis pikir, sampai seperti itu Kyai Cholil yang
hendak menasehati anaknya? Harus dirinya dulu yang menjalani nasehatnya dengan
bersusah payah berdo'a, berpuasa selama tiga hari sebelum disampaikan kepada si
anak. Orang sekaliber Kyai Cholil saja, yang terkenal dengan ilmu nahwu, fiqih
dan tasawuf itu masih harus 'tirakat' untuk sekedar berucap satu kalimat.
Kedekatannya kepada Allah SWT sungguh luar biasa, sehingga setiap langkahnya
selalu bernuansa dzikrullah, ingat Allah.
Akhirnya tamu itu pulang dengan
membawa cerita keteladanan sang Kyai. Kenyataannya memang, sang anak langsung
sembuh alias tidak lagi suka makan gula.
Didalam kitab
tarikh al-Baghdad, diceritakan bahwa Imam Abu Hanifah saat di Kuffah memiliki
tetangga seorang pemuda tukang sepatu. Pemuda itu bekerja sepanjang hari, malam
harinya ia baru pulang ke rumah. Dari
tempat kerjanya, terkadang ia membawa daging untuk dimasak, kadang pula
ikan yang dibawa untuk dipanggang.
Sayangnya, ia ternyata seorang
pemabuk. Sampai-sampai ketika sedang mabuk-mabuknya, tak terasa ia sering
mongeceh dengan suara keras, “Mereka menelantarkanku, tidak tahukah siapa yang
mereka sia-siakan. Dialah pemuda yang selalu berjaga di perbatasan di hari-hari
yang mencekam.” (pemuda ini merasa tidak diperhatikan oleh tetangga sekitar)
Ketika mabuk, kata-kata tersebut
diulangnya terus menerus sambil minum. Ia tidak sadar bahwa Abu Hanifah tiap
hari mendengarkan dan memperhatikan tingkah pemuda ini.
Suatu malam di saat Abu Hanifah
menyelesaikan shalat malamnya, suara lanturan pemuda itu tak lagi terdengar.
Beliau pun bergegas mencari tahu keberadaan pemuda mabuk tersebut. Di tengah
jalan ada yang memberi tahu bahwa si pemuda telah diciduk petugas keamanan
beberapa malam yang lalu untuk dijebloskan ke penjara. Syariat Islam berlaku,
bahwa seorang pemabuk akan dikenai hukuman.
Maka esok harinya setelah
menyelesaikan Shalat Subuh, beliau naik ke atas keledainya untuk menemui Amirul
Mukminin. Saat bertemu dengan Amir, beliau ditanya, “Ada apa engkau ke sini
wahai imam?”
Beliau menjawab, “Begini Amir,
aku punya tetangga tukang sepatu. Ia diciduk oleh petugas keamanan sejak
beberapa hari lalu. Aku bermaksud memintamu untuk membebaskannya.” Karena
diminta oleh seorang ulama terpercaya, Amir pun mengabulkannya, ia akhirnya dibebaskan.
Dalam perjalanan pulang Abu
Hanifah masih naik keledainya, sedangkan pemuda itu ikut berjalan di belakangnya. Setelah sampai rumah, Abu
Hanifah bertanya penuh selidik kepadanya, “Eh nak, memangnya kita menelantarkanmu
ya?”
“Emmm… Enggak, justru kamu menjaga dan memperhatikanku.”
jawabnya sambil tersenyum malu. “Terima kasih sudah menjadi tetangga yang baik
ya.” pungkasnya. Setelah kejadian tersebut, pemuda itupun bertaubat, ia tak
lagi mabuk-mabukan seperti dulu lagi.
Jadi yang diperlukan bagi seorang da’i ketika berdakwah,
1. Keikhlasan, semata-mata
mengharap ridho Allah SWT
2. fathonah
(kecerdasan), dia memiliki kemampuan untuk bersiasat dan berfikir
3. tabligh
(menyampaikan), ia pandai didalam berkata-kata dan beramal
4. amanah
(terpercaya), ia orang yang dapat dipercaya karena kejujurannya
5. kebersihan hati,
bagaimana ia hendak membersihkan hati orang jika hatinya kotor.
6. kesabaran, sebagaimana
KH. Khalil sabar didalam memberi nasehat, Imam Abu hanifah yang sabar dalam
menghadapi gangguan dari tetangga.
7. Hati yang penuh kasih
sayang kepada ummat, bukan keras terhadap mereka.
8. Niat yang benar
dan azzam yang kuat untuk menyerukan orang kejalan Allah.
Sebagaimana pepatah orang bijak, “ amal butuh kepada 4 perkara
agar ia menjadi amalan yang baik yang diterima oleh Allah SWT :
b). Niat diawal beramla,
c). Kesabaran ditengah beramal,
d). Keikhlasan diakhir beramal.
Setan
saja bersiasat, kok kita malah tidak ?
gambar : http://darussalam-online.com/
0 Response to "Bersiasat didalam berdakwah"
Post a Comment